Seperti yang dikutip oleh Penulis, ISIS memahami khilafah sebagai model kepemimpinan yang wajib dan sah secara eksklusif karena bagian dari tradisi Ibrahim.
Artinya, kelompok ISIS dengan berbekal penafsiran alakadarnya itu mengira bahwa umat muslim harus bersatu di bawah kepemimpinan tunggal untuk menerapkan syariat Allah. Bagi mereka, hanya merekalah yang pantas mewarisi tradisi Ibrahim. Akhirnya, ISIS mendirikan kekhilafan versi mereka pada Ramadhan 1435 H. (h. 74).
Argumentasi mendirikan sebuah Negara Islam (khilafah) didasarkan pada pemaknaan QS Al-Baqarah ayat 124 dan QS Al-Nur ayat 55 tentang janji Allah SWT yang akan menyerahkan kepemimpinan kepada hambanya baik politik dan agama. (h. 73).
Penulis memberikan bagaimana narasi yang dibangun oleh ISIS kemudian mendiskursuskan dengan pemahaman yang berbeda sama sekali seperti misalnya dalam kasus khilafah.
Menanggapi konsep khilafah ala ISIS, Ali Jum'ah, mantan Mufti Mesir secara tegas menyatakan tidak ada satu hadis pun yang menyeru untuk mendirikan khilafah. Yang ada hanyalah hadis "ketika tidak di dunia ini tidak terdapat khilafah, maka diamlah di rumahmu," dimana memilki maksud untuk tak menyulut konflik, mencipta fitnah dan melahirkan perpecahan. (h. 110).
Najih juga membeberkan fakta bahwa khilafah ala ISIS tersebut telah melanggar ahl al-halli wa al-'aqdi dan kesepakatan dari mayoritas umat Islam. Sedangkan, menurut Umar RA seorang yang mendeklarasikan kepemimpinan dirinya atau orang lain tanpa musyawarah dengan kaum muslimin maka wajib untuk diperangi. (h. 111).
Baca Juga: Jadi Presiden Amerika Serikat, Sikap Joe Biden Terhadap Islam? Refly Harun: Semoga Sesuai Komitmen!
4. Kelebihan
Najih berhasil memberikan banyak argumentasi yang ilmiah karena didasarkan pada referensi yang jelas. Hal ini membuat pembaca menjadi lebih mantap sekaligus bisa mendalami (follow up) tulisan ini.
5. Kekurangan